Oleh : HASRUM MALIK
Praktisi Hukum
Seorang yang mempertahankan status sosialnya sepintas lalu adalah hal yang biasa dalam pergaulan hidup sosial kemasyarakatan, namun dalam situasi dan kondisi tertentu, hal itu justru merupakan negasi dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh orang yang bersangkutan, maka hal itu beresiko pelanggaran moral-etik, bahkan pelanggaran Hukum.
Contoh Kasus, dimana seorang anggota DPRD yang diketahui oleh orang banyak, jika ia telah pindah parpol lain dari parpol pengusungnya pada Pemilu yll, sebab parpol asalnya sudah tidak lagi menjadi peserta pemilu yad, akan tetapi tidak bersedia diberhentikan atau digantikan antar waktu oleh rekan eks caleg parpol pengusungnya yang sama pada Pemilu yll. Entah karena factor apa yang menyebabkan sampai anggota dprd ybs, justru nekad peradilankan pimpinan dprd yang memproses usul penggantian anggota dprd tsb, padahal pimpinan tsb, adalah berasal dari kursi parpol lain.
Bahwa meskipun tidak ada ketentuan peraturan yang membatasi hak anggota masyarakat untuk berpartai politik lebih dari satu organisasi, hal itu justru dapat dianggap tidak beretika, sebab adalah tidak patut kursi DPRD yang masih diduduki sekarang dan merupakan kursi perolehan parpol asalnya semula, sedangkan dia tercatat pula sebagai unsure pimpinan parpol peserta pemilu yad.
Bahwa sesuai dengan ketentuan Undang Undang tentang Parpol yang berlaku, apabila seseorang pindah partai politik, maka keanggotaannya dalam parpol asal/semula gugur/tercabut atau dianggap berhenti atau diberhentikan keanggotaannya dari partai politik asalnya, dan pemberhentian keanggotaan parpol adalah diikuti dengan pemberhentian keanggotaannya dalam DPR/DPRD apabila anggota parpol ybs, masih menjabat keanggotaan dalam DPR/DPRD ybs.
Segi hukum atas sikap anggota DPRD ybs yang masih mempertahankan status jabatannya atau tidak berkeinginan secara sukarela berhenti dari jabatannya dan tidak mau menerima usul pemberhentian atau penggantian antar waktu atas dirinya oleh rekan calon pengganti yang memenuhi syarat dari dalam jabatan keanggotaannya di DPRD ybs, adalah soal dapat tidaknya orang tsb, dianggap merugikan keuangan Negara/daerah? Karena masih menerima seluruh hak keuangan sebagai anggota DPR/DPRD?
Suatu anggapan jika anggota ybs masih berhak menerima gaji dan tunjangan penghasilan serta hak keuangan lainnya, adalah karena belum ada Keputusan resmi pemberhentian dari pejabat yang berwewenang. Akan tetapi substansi persoalannya adalah taat asas Kepastian Hukum serta tindakan proporsional, menghendaki penghentian pembayaran gaji, penghasilan dsb, sebagai konsekwensi hukum terpenuhinya criteria konstituional bersyarat, jika pemberhentian atau penggantian antar waktu seorang anggota DPR/DPRD, adalah tidak bertentangan dengan hukum (Undang Undang Parpol) maupun Hukum tertinggi dalam Negara (Undang Undang Dasar), selama terpenuhi syarat (kwalifikasi) dan kenyataan, bahwa anggota ybs, diusulkan pemberhentiannya oleh parpol asalnya dan parpol asalnya tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau pengurus parpol asalnya sudah tidak ada lagi, atau masih terdapat calon pengganti dari parpol asalnya yang terdaftar dalam Daftar calon tetap (DCT) anggota dprd Pemilu yang lalu dari dapil yang sama, sebagaimana maksud dictum putusan pengujian undang undang tentang parpol oleh mahkamah konstitusi. sehingga suatu kekeliruan jika alasan belum adanya Keputusan pemberhentian secara resmi oleh pejabat yang berwewenang dalam hal ini Menteri dalam negeri, mengakibatkan pembayaran gaji dan penghasilan anggota dprd ybs, tidak berhenti atau tidak dihentikan. Bukan kah Putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat seluruh pihak warga Negara maupun pihak penyelenggara Negara sejak saat diterbitkan?, Putusan Hukum Pengujian Undang Undang oleh Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan sebagai Putusan Lembaga Tinggi Negara yang berwewenang menguji suatu Undang Undang terhadap Undang Undang dasar serta Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Tinggi Negara yang berfungsi sebagai penafsir terahir Konstitusi sejakilgus pengawal Demokrasi?. Oleh karenanya adalah anggapan keliru untuk mempertentangkan kedudukan hukum (status) keputusan Menteri Dalam Negeri dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, apalagi lebih cenderung terhadap kekuatan daya berlakunya Keputusan Menteri (cabang kekuasaan eksekutip) yang dibenarkan atau diakui lebih kuat berbanding Putusan Mahkamah Konstitusi (cabang Kekuasaan Kehakiman) atas penyelesaian persoalan serupa dihadapan Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung.
Akses lain jika Putusan Pengadilan maupun Mahkamah Agung yang mengadili persoalan serupa justru menyampingkan kedudukan, Tugas dan kewenangan Mhkamah Konstitusi itu sendiri, bahkan cenderung beranggapan jika Keputusan Meneteri lebih unggul ketimbang putusan Peradilan dengan alasan spectrum politik Putusan mahkamah Konstitusi hanya sebatas Kekuatan moral public (moral force) sedangkan Keputusan Menteri spectrum Politiknya meliputi Realitas dan Moralitas publik, hal mana justru tidak konsekwen terhadap eksistensi keberadaan Fungsi Lembaga Peradilan dalam Negara, dan tidak sama sekali berpedoman terhadap putusan perkara parpol oleh Mahkamah Agung itu sendiri, yang telah beranggapan dan berpendapat, jika Pengadilan Negeri yang berpuncak pada Mahkamah Agung, adalah tidak dapat dan tidak diserahi kewenangan oleh undang undang, untuk menguji atau mengoreksi putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu kekuatan hukum atau daya berlaku Putusan Mahkamah konstitusi, adalah berbanding lurus (simetris) dengan daya berlakunya Undang Undang Dasar Negara, dan kekuatan hukum mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi, adalah lebih mengikat secara luas terhadap seluruh unsur Negara atau terhadap seluruh warga negara dan seluruh penyelenggara negara, serta dalam batas wilayah teritorial Negara, dari pada Keputusan Menteri Kabinet Pemerintahan,keputusan menteri mana termasuk juga tindakan yang tidak menerbitkan keputusan terkait usul pemberhentian atau penggantian antar waktu anggota DPRD ybs.
A69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar