ANEKA TAFSIR HAK MILIK ATAS TANAH
Oleh : Hasrum Malik
Praktisi Hukum
M
|
ulti tafsir hak milik atas tanah, telah dan masih
melanda masyarakat sejak dulu sampai sekarang, keinginan penyelenggara negara
maupun publik untuk menyatukan peraturan perundang undangan yang mengatur hak milik
atas tanah, telah berjalan sejak diundangkannya Undang Undang No.5 Tahun 1960,Tentang
Pokok Pokok Agraria, namun masih jauh dari kesempurnaan. Keadaan itu lebih buruk lagi dengan terbitnya berbagai
putusan pengadilan yang saling bertentangan mengadili perkara mengenai Hak Milik atas Tanah.
Contoh
suatu Kasus tanah perumahan yang oleh Pengadilan Agama, telah mengadili dan memutus,
jika sebidang tanah harus dibagi diantara sesama ahli waris, karena dinyatakan
sebagai bagian harta peninggalan warisan yang belum terbagi antara sesame ahli
waris yang sah, juga sebab salah seorang ahli waris tsb, dianggap melanggar
larangan hibah yang melebihi sepertiga bagian dari seluruh harta peninggalan. setelah
eksekusi atau pelaksanaan Putusan Pengadilan, tanah tsb, dijual oleh penerima pembagian warisan oleh
Pengadilan tsb, kecuali ahli waris ex penerima Hibah tsb, dihadapan Notaris, atas
dasar Penguasaan Fisik dan atas Penetapan Eksekusi Putusan tsb, sehingga
penerima eks hibah kemudian pun mengajukan gugatan kepada penerima pembagian
harta warisan tsb, pada Pengadilan Negeri, namun Pengadilan Negeri tsb, telah
memutus dengan menyatakan tidak menerima
gugatan penggugat, dengan anggapan bukan perkara Hak Milik, melainkan Kewarisan
dan telah dieksusi putusan oleh Pengadilan Agama tsb, dengan perintah penetapan
pembagian masing-masing ahli waris dari si wafat, kecuali ahli waris eks
penerima hibah atas tanah tsb.
Disatu
segi, Hak Milik dapat diperoleh baik secara kewarisan, atau Penguasaan
nyata (fisik), atau Transaksi jual beli atau penyerahan fisik maupun tindakan
nyata yang bertujuan untuk melepaskan hak sesuatu kepada seseorang, sedangkan dilain
segi, Hak Milik dapat lenyap atau hapus karena dicabut oleh suatu Peraturan
Perundang Undangan atau Putusan Pengadilan.
Bahwa
Hak waris timbul karena adanya hubungan
hukum keluarga yang ditentukan oleh peraturan, dengan kata lain, hak waris
adalah hak yang timbul karena status dan derajat hubungan darah antara
seseorang dengan seseorang yang telah wafat, dengan segala akibat atas harta benda
yang berasal dari si wafat, sehingga Hak Milik atas tanah yang berasal dari
adanya Hak waris seseorang, terbit asal mula dari status hukum perseorangan
(pribadi), tidak mengutamakan status tanah, diperoleh semula dari siapa lagi
dan dengan cara bagaimana lagi. Betapa tidak, bahwa seorang cabang bayi yang masih dalam
kandungan seorang Ibu, oleh Hukum sudah dianggap sebagai orang pendukung hak
maupun kewajiban meskipun kenyataannya belum lahir dimuka bumi. Oleh karenanya
apabila timbul perbedaan paham atau sengketa soal siapa yang harus dibenarkan
dan diakui memperoleh hak milik atas sebidang tanah, terlebih dahulu ditentukan
pendekatan pemahaman apakah tanah tsb, terlepas dari sebab akibat hubungan
darah seseorang dengan seseorang yang wafat dan yang meninggalkan harta tanah
tsb. dengan kata lain bahwa hak milik atas tanah yang timbul karena kewarisan
lebih dominan dtentukan atas status hukum
orang perseorangan, sedangkan soal status barang yang ditinggalkan oleh
si wafat adalah soal lanjutan.
Bahwa
Pemahaman seperti tsb, dianut dalam
hukum islam. Lain halnya menurut hukum adat, jika hak milik atas tanah, dominan
ditentukan dengan penguasaan fisik seseorang atas tanah atau status tanah itu
sendiri, sebagai bagian dari hak masyarakat
setempat (hak ulayat), dalam artian bahwa selama seseorang diakui diterima oleh
anggota kekerabatan persekutuan masyarakat desa setempat, dan sepengetahuan serta
izin pemangku adat setempat, telah nyata
mengerjakan atau mengusahakan sekian lama tanah tsb, maka hubungan hak atas
tanah oleh orang tsb, tetap diakui kebenarannya. hal lain yang mungkin timbul
adalah dalam lalu lintas perikatan atau perjanjian tanah atau yang ada
hubungannya dengan obyek sebidang tanah tsb, yang bertujuan memindahkan Hak
milik secara terus menerus (adol sande/la’buru/ngajual lepas), misalnya telah
menjadi obyek jual beli dari oknum orang seperti dalam contoh kasus tsb di
atas, yang telah juga mengalihkan dengan cara jual beli terhadap orang lain
lagi dst. apakah pembeli terahir dapat dianggap harus menanggung resiko
kerugian akibat transaksi para penjual tanah sejak semula? Atau apakah
seseorang ahli waris dengan dalil tanah eks hibah yang diterima orang tuanya
masih dan seharusnya mendapat pengakuan sebagai bagian dari harta warisannya?.
Dst, masih tersisa banyak pertanyaan lainnya.
Bahwa
dari contoh kasus tsb, sepintas lalu semua pihak terkait mengharap perlindungan
hukum dengan asa keadilan, dari yang klasik sampai mutakhir. betapa tidak
semuanya berujung penafsiran kebenaran hukum dengan adanya Putusan Pengadilan
yang telah atau yang aka ada terbit.
Di
satu segi, jika kelompok ahli waris
yang menerima penetapan pembagian harta warisan berdasarkan Putusan Pengadilan
Agama setempat, lalu ahli warisnya lagi yang menjual tanah eks obyek perkara,
terlepas apakah kelompok ahli waris terahir memperoleh kuasa khusus menjual
kalau orang tuanya masih hidup, atau dengan sendirinya perbuatan hukum menjual
adalah sah, hanya karena jual beli terjadi dihadapan Notaris, maka pembeli
patut memperoleh perlindungan hukum, sedangkan dilain segi, kelompok
ahli waris eks penerima hibah tanah, juga patut memperoleh perlindungan hukum,
Sebab tanah sejak semula telah terdaftar sebagai hak milik (bersertifikat) atas
nama orang tuanya, dan sampai sekarang
belum satu pun Putusan Pengadilan yang mencabut atau membatalkan sertifikat
tanah atas nama pribadi orang tua dari kelompok ahli waris eks penerima Hibah
tanah tsb. Bahkan sebelum berperkara antara ahli waris semula, sertifikat tanah
telah terbit dalam arti bahwa secara nyata hak milik tanah tsb, sejak semula
terdaftar atas nama salah seorang ahli waris (eks penerima Hibah), sehingga
penafsiran yang kurang tepat dan tidak sempurnah jika kemudian Putusan
Pengadilan Agama setempat, membagi tanah dan mengeksekusi putusannya, waris, juga jauh masa terbitnya sertifikat
terlebih dahulu dari pada pendaftaran perkara pada Pengadilan Agama tsb. Oleh
karenanya dalam Kasus tsb, sejogyanya ditafsirkan dominan sebagai Perkara Hak
Milik, dibandingkan sebagai Perkara Kewarisan, sebab status tanah tsb, secara
formal terdaftar sebagai Hak milik seseorang, sehingga kemudian telah menjadi
hak waris pula, terlepas dari soal cara perolehan tanah tsb, sejak semula
apakah belum terbagi maupun telah diberikan atau dihibahkan lagi kepada
seseorang. Pandangan seperti tsb, mungkin mendekati kesempurnaan asa keadilan,
mengingat prinsip dalam hukum acara perdata, jika kebenaran formal lah
diutamakan dalam artian bahwa jika alat bukti dalam berperkara yaitu ada Sertifikat
yang sah, serta didukung persesuaiannya dengan keterangan saksi, maupun suatu persangkaan
kenyataan, yang cukup mengungkap adanya kebenaran status tanah sebagai hak
milik seseorang, kenapa tidak hal itu dapat diakui dan ditetapkan sebagai
kebenaran hak milik seseorang. Prinsip itu lah yang sejogyanya dapat diikuti
dengan sikap batin yang sempurnah, bahwa keadilan berdasarkan Ketuhanan yang
maha esa lah dibalik keadilan semu atau palsu lah yang paling sempurnah di muka
bumi.
Bahwa
hak milik ahli waris dari eks penerima hibah dalam perkara semula, pernah juga
diuji pada Pengadilan tata usaha Negara, dimana penggugat mengklaim jika
sebidang tanah tsb, terhisap kedalam bagian tanah dalam sertifikat yang
dipegang penggugat, namun kenyataannya jika sertifikat tsb, tidak memiliki
kepastian hukum akibat berstatus hukum sebagai pendaftaran sementara saat
pertama kali terdaftar di instansi agraria, dimana tidak tercantum surat ukur
luas letak obyek tanahnya, hal tsb, berdampak negative, karenanya oleh
Pengadilan tsb, diputus sebagai gugatan yang tidak dapat diterima, sebagai
konsekwensi hukum bahwa sertifikat ahli waris dari eks penerima hibah dalam
perkara kewarisan yang semula telah diputus oleh pengadilan lain (Pengadilan
Agama), sampai saat berperkara pun tidak
pernah dicabut atau dibatalkan oleh
Pengadilan tata usah negara tsb. Oleh karena itu dari segi adminstrasi, bukti
hak milik ahli waris dari seorang eks penerima hibah tanah dalam wujud
Sertifikat adalah sah dan berkekuatan hukum mengikat. sedangkan dari segi cara perolehan hak milik, maka jelas
sejak semula Hibah yang diterima oleh seseorang tsb, juga adalah sah, sebab
kejadiannya jauh waktu sebelum berlakunya ketentuan hukum (Kompilasi Hukum
Islam) yang melarang pemberiian hibah yang melebihi sepertiga bagian total
harta peninggalan dari seorang pewaris (si wafat).sebagai konsekwensi hukum
bahwa kejadian hukum dalam beberapa kasus tsb, maka Hak milik ahli waris dari
seseorang eks penerima hibah, adalah memenuhi syarat sah, sehingga harus lah
dipandang sebagai perkara Hak Milik atas tanah, bukan sebagai perkara kewarisan
lagi, dengan alasan pembenaran jika sejak pendaftaran hak atas tanah pertama kali, orang penerima hibah atas
sebidang tanah telah terbit penetapan hak miliknya, yang berkekuatan mengikat
baik terhadap ahli waris kemudian terhadap pihak ketiga.
Dalam
kaitan pihak ketiga yang menguasai tanah tsb, akibat transaksi jual beli dengan
pihak yang pertama kali menerima pembagian warisan sekalipun berdasarkan
putusan pengadilan dan telah di eksekusi, sebelum terjadinya kesepakatan antara
ahli waris eks penerima hibah dengan ahli waris eks penerima pembagian atau
pemecahan budel waris atas tanah tsb, maka terdapat kelemahan hukum formal
sebagai akibat dari perikatan jual beli yang terjadi berdasarkan kesepakatan
semata antara penerima eks pembagian atau pemecahan budel warisan tanpa
melibatkan ahli waris eks penerima hibah tanah tsb, kesepakatan mana diketahui
oleh notaris sebatas pendaftaran suratnya (wermaarking), tidak atau bukan
dibuat oleh dan dihadapan notaris ybs, akte jual beli tanah mana menunjuk ketentuan
khusus (klausul), jika jual beli antara penjual dan pembeli tanah tsb, adalah
hasil kesepakatan bersama oleh pihak penerima awal pembagian harta warisan atas tanah tsb, untuk bersama
sama bertindak sebagai pihak penjual berhadapan pihak pembeli (pihak
ketiga).sehingga pihak eks penjual dan eks pembeli tanah tsb, masih
dimungkinkan dianggggap tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian yang
diancam Batalnya demi hukum transaksi jual beli tanah tsb. syarat mana adalah
karena perjanjian jual beli tsb, tidak memenuhi syarat adanya suatu sebab yang
halal, dalam arti bahwa transaksi jual beli tidak terjadi berdasarkan
kesepakatan jual yang mengikutkan kesepakatan bersama dari pihak pemilik semula
sertifikat tanah eks obyek jual beli tsb,meskipun mereka ahli waris pemegang
sertifikat terdahulu bukan pihak yang terahir yang menguasai fisik tanah tsb.
Oleh karena itu sejogyanya tetap diakui jika ahli waris eks penerima hibah atas
tanah sekaligus sebagai pemegang sertifikat pendaftaran hak milik pertama kali
selama belum adanya putusan pengadilan yang membatalkan atau mencabut
sertifikat tsb, adalah sah sebagai pemilik atas tanah tsb, sebagai diperoleh
secara kewarisan dari timbulnya Hak milik sejak semula atas diri pewarisnya (si
wafat). oleh karenanya pula tuntutan pengembalian penguasaan atas tanah tsb,
tetap terbuka bagi ahli waris eks pemilik semula sertifikat tanah tsb.
A69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar